Rabu, 10 Oktober 2012

[un]affair, [un]forgetable, [un]predictable, review Ary Yulistiana (penulis 100th Dragonfly)



Sebuah catatan kecil dari novel [un]affair karya Yudhi Herwibowo
Ihwal terbitnya novel ini saya ketahui dari kolom berita sebuah surat kabar lokal, yang memuat profil penulisnya. Dalam kesempatan tersebut, sang penulis (siapa lagi kalau bukan Yudhi Herwibowo) mengatakan akan segera meluncurkan novel berikutnya yang bergenre cinta. Diakuinya novel tersebut merupakan novel pertamanya yang bergenre cinta, ehm. Langsung terbayang di benak saya deretan karya penulis yang sungguh baik hatinya itu, mulai dari cerita humor, roman sejarah, sampai kisah-kisah inspiratif
Dan pada sebuah akhir pekan, saya mencari buku tersebut di Gramedia. Karena malas mencari secara langsung karena banyaknya display di berbagai rak dan meja, dan sedang terburu-buru, saya langsung menuju ke komputer yang ada di tengah ruangan untuk melacak keberadaan buku tersebut. Perlu beberapa kali ketik juga ketika pencarian. Karena bila hanya diketik unaffair demikian, maka tidak bisa muncul judul bukunya. 
Akhirnya ketemu juga novel tersebut. Ilustrasi covernya sederhana dan bersahaja (itu menurut saya). Sebuah sudut ruangan berlantai papan, dibatasi tembok dengan cat yang mengelupas di beberapa bagian, terkesan dingin, sunyi, dan lapuk. (Nantinya barulah saya memahaminya; Rasanya cukuplah desain cover novel tersebut semuram suasana hati saya selepas menyelesaikan kisah sendunya.) Namun pada saat yang bersamaan tersaji antitesis berupa sofa modern minimalis yang bagus dan bersih, dan... sepasang stiletto merah mengilat.... Sungguh memunculkan banyak dugaan.
Daftar isi yang tersaji, hm, juga tampil beda. Yang biasanya identik dengan kalimat pendek, di novel tersebut daftar isi berupa kalimat-kalimat majemuk yang dinukil dari tiap bagian. Soal jalan ceritanya, saya hanya akan menuliskan sedikit saja, mengingat sudah banyak review sebelumnya atas buku ini.
Terkisah lelaki sederhana bernama Bajja (yang langsung mengingatkan saya pada Wajja, salah satu tokoh di novel Menuju Rumah Cinta-Mu) seorang desainer grafis yang terjebak dengan perasaannya sendiri untuk menjalin kisah dengan gadis bernama Arra. Bermula dari perjumpaan tidak sengaja di dekat palang kereta, berlanjut saat Arra memesan cetak digital buku di kantornya, lalu di kafe V dan pertemuan-pertemuan sendu di rumah kontrakannya, kisah Bajja dan Arra terangkai dengan tidak sederhana. Antara kesedihan, kegamangan dan kerinduan, namun terbungkus dengan romansa, perhatian yang manis, desir yang menyeruak, dan rinai hujan yang kerap menjadi sutradara atas kebersamaan mereka. 
Bajja, lelaki yang membiarkan dirinya untuk menuruti apa yang terjadi. Membiarkan pintu ruang hatinya terbuka dan membiarkan banyak hal begitu saja memporak-porandakan isinya. 
Termasuk pada saat Canta, kisah cintanya yang lama, masuk kembali begitu saja ke ruang hatinya. Sesungguhnya Bajja tak pernah benar-benar sanggup menutup pintu hatinya. Hingga Arra dan Canta berada pada sudut yang tak pernah diduganya. 
Novel yang teramat sendu, teramat menyedihkan. Kepiawaian penulis menyajikan plot dan setting sudah tidak diragukan lagi karena begitu banyaknya karya yang telah ditulis. Membaca halaman demi halaman, saya seakan berada di tempat-tempat dimana mereka berada. Di dekat palang kereta, di kesibukan kantor Vanila Ice Design, menonton Everton di V, kedinginan berhujan-hujan, juga di rumah kontrakan berarsitektur lawas yang berdinding tinggi dan nyaman. Namun di akhir cerita, saya masih juga bertanya-tanya, luka apa sebenarnya leher Arra ketika itu, dan, lelaki bertato kuda berlari di lengan kanan; siapa dia dan bagaimana? 
Dengan kepiawaian sang penulis, apalagi yang bisa ditawar dari novel ini? Rasanya tidak ada. Kalaupun ada, barangkali hanya hal yang tidak terlalu penting dan subyektif dari sudut pandang saya (haha, tentu saja). Subyektivitas saya antara lain: Ketika membaca novel ini, dalam beberapa bagian saya sedikit terganggu dengan gurauan yang coba dihadirkan oleh penulis. Terutama pada dialog antara Bajja dan Wara, teman sekantornya. Rasanya malah kurang pas untuk dibaca, misalnya pada dialog “cinta akan membawamu kembali” yang kemudian ditambahkan kalimat “hutang akan membawamu kembali”, atau pada bagian “Tuyul dan Mbak Yul” Entah kenapa dialog antara Bajja dan Wara tersebut terasa mengganggu dalam beberapa bagian. Novel ini mungkin disajikan secara simpel dan santai, namun bila gurauan-gurauan tersebut dihilangkan, rasanya tetap akan bisa tercipta suasana cair dan akrab antara Bajja dan Wara. 
Kemudian, karakter tokoh yang ada seharusnya bisa lebih diperkuat lagi. Nama Bajja, Wara, Canta, Arra, rasanya sebanding dengan nama Pak Hangga, Mbak Fati, lalu Vae. Penguatan karakter mungkin dapat dilakukan dengan pemberian makna dan pemberian nama panjang untuk tokoh utama. Sementara nama-nama tokoh dalam novel terkesan asing dan kurang dimaknai –kecuali Bajja yang dijelaskan karena keinginan dan harapan orang tua Bajja-. Bagi saya, karakter tokoh sangat bertalian dengan nama yang disandang.
Hal lain yang sangat sepele dan tidak mengurangi keindahan cerita adalah penulisan beberapa kata ulang. Misalnya penulisan kata “....menemukan e-book-e book menarik....” (hal.16) mungkin bisa disederhanakan  dengan “....menemukan berbagai e-book menarik...”, lalu pada dialog halaman 61, “ ...apakah aku masih menyimpan mie-mie itu?”, mungkin lebih enak dibaca “...apakah aku masih menyimpan mie?”. Juga pada penggunaan kata pada hal. 162 mengenakan jubah dokternya mungkin lebih pas mengenakan jas praktiknya. Dan beberapa penulisan kata yang sungguh teramat sepele dan tidak mengganggu jalannya cerita.
Apapun, novel ini berhasil mengaduk emosi pembacanya, dan memaksa menuntaskan membaca hingga akhir cerita. Entah dengan meneteskan air mata, ataupun menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan hati atas sendunya cerita... Bravo...!

Tidak ada komentar: