Rabu, 10 Oktober 2012

[un]affair, review Dion Yulianto di Baca Biar Beken!


Judul              : (Un)affair
Pengarang      : Yudhi Herwibowo
Editor             : Anton WP
Cetakan          : Pertama, 2012, 172 halaman
Penerbit         : BukuKatta   

Apakah itu sebuah affair ketika dalam cerita indah itu kedua insan sama-sama mengetahui posisinya masing-masing? Layakkah cinta yang begitu lembut antar dua insan yang berbeda—yang tidak menuntut apa-apa selain sebuah sofa dan rumah kontrakan nan teduh sebagai tempat berteduh dan meluapkan cerita—boleh didakwa sebagai perselingkuhan? Jikalau memang itu harus dianggap demikian, maka alangkah benar jika cerita dari kota Sendu itu diberi judul “perselingkuhan yang tidak adil” unfair affair --> (Un)affair

Unaffair adalah kisah tentang Bajja dan Arra, dan Wara, dan Vae, dan akhirnya, Canta. Kelima tokoh dari Kota Sendu yang banyak turun hujan inilah yang mewarnai satu lagi kisah tentang cinta tak kesampaian yang berawal dari sebuah sofa. Adalah Bajja, seorang karyawan penyuka hujan yang tiba-tiba kedatangan sosok wanita asing bernama Arra. Ketika itu, Arra  hendak mencetak buku untuk kekasihnya di kantor Bajja. Keunikan dan kemisteriusannya membuat hati Bajja yang dulunya sekeras baja semenjak perginya Canta menjadi luluh, perlahan demi perlahan. Sebuah sofa usang di rumah kontrakan Bajja menjadi saksi tumbuhnya jalinan bukan-cinta-tapi-lebih-dari-sekadar-sahabat antara keduanya. Di mana hubungan unik antara keduanya itu digambarkan dengan indahnya melalui syair-syair narasi dalam novel kecil ini.

            kita bagai kupu-kupu …
            aku kupu-kupu dengan sepasang sayap yang rapuh
            berharap engkau terus mengiringiku terbang
            menjaga sewaktu-waktu aku jatuh (hlm 85)

Lalu, keputusan itu pun datanglah. Si wanita pecinta sofa itu akhirnya pergi, sebagaimana Canta pergi meninggalkan Bajja. Dan kegalauan pun mulai melanda, yang untungnya tak lama. Sebuah kembang dari masa lalu Bajja kembali mekar menghampiri. Adalah Canta, yang memutuskan untuk  tinggal di kota Sendu, demi menikmati ketenangan dan hujannya--yang senantiasa turun. Dan, Bajja pun mendapatkan semangat dan pola hidupnya kembali, hanya untuk kembali digoyahkan oleh kedatangan kembali Arra ke Kota Sendu. Demikianlah cerita itu terus bergulir. Lalu, apakah Bajja akan kembali kepada Arra, ataukah tetap mempertahankan Canta? Biarkan Unaffair yang akan menjawabnya.

Membaca Unaffair seperti mengingatkan saya dengan pembacaan cerpen. Entahlah, tapi bagi saya aroma sebuah cerpen terasa begitu kuat dari novel yang nyatanya ada beberapa bab ini. Mungkin, saya terlalu membandingkannya dengan karya-karya Mas Yudhi yang terdahulu, terutama yang kumpulan cerpen. Sungguh, rasa sastra itu begitu kental menguar dari lembar-lembar Unaffair, menjadikannya semacam affair yang indah, yang tidak tabu, yang sangat nyaman.

Unaffair menggunakan bahasa baku yang cenderung formal. Tidak banyak kata gaul apalagi alay yang bersliweran dalam novel kecil ini, bahkan pada candaan si Wara yang agak gokil itu. Namun, keteraturan dan kebakuan itu bukannya membuat kaku tapi justru memperindah novel ini, seolah-olah “mengklasikkannya”.  Pembaca akan tetap mampu menikmati ceritanya terlepas ari penggunaan kata-kata lengkap seperti “engkau” dan “mengudak-udaknya”.

Hal lain adalah banyaknya bertebaran kalimat-kalimat reflektif yang membuktikan bahwa si penulis memang seorang pengamat kehidupan yang piawai. Di sela-sela romansa dunia Bajja, terselip pandangan penulis tentang ironisnya promo penjual nisan (“beli satu bonus satu”), atau tentang universalitas musik,

musik mungkin universal, tapi kisah di balik lagu itulah yang membuatnya semakin diterima. Itu artinya sebuah kejaidan seperti dalam lagu itu ternyata terjadi pula di tempat-tempat lain. Jadi seseorang tidak perlu terlalu sedih  akan sesuatu, karena di tempat lain pun, ada orang yang bersedih karena hal yang sama.” (halaman 107)

atau tentang pengaruh antara seseorang terhadap lingkungannya

Aku bisa memaklumi. Kadang sesuatuyang ada di sekitar kita, akan kita bentuk seperti diri kita” (halaman 144) *membacanya sambil melirik timbunan di pojokan  #eh

Ciri lain dari Mas Yudhi yang banyak bertebaran di buku ini adalah penggunaan kalimat-kalimat yang pendek dan seolah terpotong, seperti melambangkan jeda atau ada sesuatu efek yang hendak ditekankan. Dan, Mas Yudhi mampu menerapkan kata-kata berefek ini dengan begitu bagus sehingga bahkan seorang editor seperti saya (hasyah) abaii—yang sebenarnya sudah lazim dalam fiksi.

Mari kita akhiri pembacaan resensi ini dengan satu kutipan galau tapi indah dari salah satu halaman novel ini.

aku bagai mawar merah yang luka
namun tetap merah menyala
karena warna itu sudah kupilih
untukmu, seberapa pun aku luka (hlm 38)


http://dionyulianto.blogspot.com/2012/09/unaffair.html

Tidak ada komentar: