Rabu, 01 Februari 2012

Mata Air Air Mata Kumari, review Dion Yulianto



Sebagaimana yang didedarkan dalam bagian pengantarnya yang begitu indah, Mata Air Air Mata Kumari adalah sebuah perziarahan imajinasi-lokalitas dalam ranah fiksi. Sebuah karya yang sekali lagi menunjukkan produktivitas sang penulis dalam menghasilkan bacaan-bacaan bermutu dengan beragam genre, namun dengan tetap memperlihatkan kualitasnya yang piawai. Buku Mata Air Air Mata Kumari adalah kumpulan cerpen karya Yudhi Herwibowo yang pernah dimuat di berbagai media massa, kecuali cerpen Anak Nenang Kawi yang belum terpublikasikan. Sebagaimana karya-karyanya yang banyak mengupas dari sisi sosial budaya, Mata Air Air Mata Kumari adalah himpunan dari aneka kekayaan budaya lokal, terutama Nusa Tenggara Timur dan Papua, dua kawasan di Indonesia Timur yang jarang dilirik sebagai sumber ilham oleh para penulis fiksi.

            Kualitas penulis dalam menyelami kebudayaan di Indonesia bagian timur, riset budaya yang ia lakukan, serta kentalnya unsur-unsur lokalitas yang ia usung, kesemuanya itu menjadikan buku kecil ini terasa berat karena bobot muatannya. Tenggoklah cerpen Kofa  yang dengan begitu indah hendak menyorot kekeringan yang menimpa kota di NTT itu.

            Dulu, dulu sekali, mungkin hampir semua penduduk Kofa bertanya ada apa dengan Tuhan hari itu? Mengapa saat Ia menciptakan hujan, malah tetesan debu yang jatuh? (hlm 15)

            Begitulah penulis dengan piawai menggunakan gejala alam sebagai perlambang pergolakan sosial yang terjadi di sebuh kota kecil di NTT. Ada pula kisah tentang Lama Fa (juru tikam ikan paus). Melalui cerpen yang dikisahkan dengan alur terbalik ini, penulis mengajak pembaca awam tentang kehebatan lama fa yang begitu terkenal di NTT tapi jarang dilirik di wilayah-wilayah Indonesia yang lain. Membacanya, kita serasa diajak mengarungi lautan bersama para penangkap ikan paus tradisional (yang mengingatkan saya pada novel Moby Dick karya Herman Melville). Lebih menakjubkan lagi ketika kisah ini beralur balik, dari ujung kisah ke permulaan, yang awalnya membuat pembaca bingung tetapi semakin ke belakang malah menawarkan sudut cerita yang bagus, yakni pembacaan berulang—membacanya lagi dari belakang hehehe … teknik yang unik.

            Sang pewarna kover, cerpen Mata Air Air Mata Kumari adalah satu-satunya unsur luar negeri dalam buku ini. Bersetting di sebuah wilayah terpencil di negara Nepal, cerita singkat namun mengguras pilu ini seolah hendak mendobrak kecenderungan masyarakat luas yang sangat gemar melabeli orang. Kisah pilu si gadis Kumari, yang berubah dari titisan dewi yang dipuja menjadi pelacur yang terbuang, seolah menyentil rasa kemanusiaan kita yang sering memandang orang lain dari luarnya saja. Ketika rahimnya yang suci bersentuhan dengan pria yang ia cintai sehingga menghasilkan benih calon penghuni kolong langit, masyarakat yang dulu memujanya tiba-tiba membuang sang mantan dewi ke pucuk bukit. Begitu rupa tangisan sang dewi hingga menciptakan mata air yang airnya menghidupi warga yang dulu membuangnya. Seperti tak tahu terima kasih, warga yang geram karena minum dari air mata seorang pelacurpun membunuhsi gadis Kumari dengan keji, yang menciptakan banjir dan genangan air mata yang menutupi desa.

            Simak juga cerpen Keris Kiai Setan Kober, sebilah keris yang meminta banyak tumbal. Keris yang konon dibuat oleh Empu Bayu Aji pada era Padjajaran ini sangat terkenal dalam sejarah karena banyaknya korban. Keris inilah yang kemudian menjadi senjata Arya Penangsang. Lihatlah, dalam cerpen ini, seorang Yudhi mampu menarasikan keganasan dari senjata ini. Lalu, masih ada Dua Mata perak, Anak Nenang Kawi, dan Eksekusi yang membuat pembaca berpikir sejenak berupaya mencari tahu maksud pengarang, sebelum berteriak “Aha, ternyata begitu!” Luar biasa, beraneka warna berpadu dengan cantik dalam buku kecil ini: ada sindiran sosial, lokalitas budaya yang kental, petualangan di pedalaman, hingga sedikit sentilan politik. Satu hal yang jelas, sang penulis mampu mengisahkan semuanya dalam bahasa yang halus, diksi yang sangat kental dengan budaya lokal, serta alur yang mengikat imaji pembaca. Ah, apalah saya ini sehingga berhak menilai karya yang mengagumkan ini dari sudut pandang saya yang masih teramat dangkal ini? Biar pembaca sendiri yang membaca dan memutuskan, bahwa  Mata Air Air Mata Kumari memang unik, dan indah, dan sangat “cerpen” kalau bahasa surat kabar.

            Sebagai penutup, saya kutipkan tulisan yang menghiasi sampul belakang buku ini, yang menurut saya tidak mungkin lebih pas lagi: Buku ini tidak sekadar suguhan kata di atas lembaran kertas. Buku ini menantang peziarahan imajinasi-lokalitas dan penelisikan diri manusia melalui pelbagai peristiwa. Kefasihan menuliskan kepekaan tempat (geografi) juga nengesankan kerja kepengarangan  yang (tetap) sadar dalam lintas batas imajinasi kultural-lokalitas.

http://dionyulianto.blogspot.com/2012/01/mata-air-air-mata-kumari.html

Tidak ada komentar: