Senin, 29 November 2010

Mata Air Air Mata Kumari, review Luckty Giyan Sukarno

Cerpen Mata Air Air Mata Kumari. Kali pertama mendengar kata Kumari, banyak yang mengira (dalam komentar foto kumpulan cerpen ini saat ikut kuisnya) berasumsi bahwa kumari berasal dari kata Jepang. Ternyata salah, kumari berasal dari bahasa Nepal. Artinya Dewi Perawan, gadis kecil yang dipilih berdasarkan waktu kelahiran oleh pihak Istana Nepal, untuk bertugas memberi berkah pada masyarakat setempat. Masa tugasnya berakhir saat menstruasi pertama.
Cerpen Dua Mata Perak mengisahkan pergolakan batin antara sosok ‘Aku’ sebagai ibu dengan anak sematang wayangnya, Aritha. Kedua mata perak itu seakan menusukku, melihat ketelanjanganku. Bahkan aku merasa mata itu juga menembus pintu kamarku, melihat laki-laki yang sedang bertelanjang menantiku di pembaringan (hal.131). Membaca cerpen ini mengingatkan beberapa cerpen yang pernah saya baca, sama-sama mengangkat tema antara ibu yang (terpaksa) menjadi perempuan malam dengan anak perempuan yang menjadi saksi mata kehidupan kotor ibunya .
Saya langsung teringat cerpen Pelajarang Mengarang (dimuat di harian Kompas, 5 Januari 1992. Terpilih sebagai Cerpen Pilihan Kompas 1993) yang ditulis Seno Gumira Ajidarma. Dikisahkan tentang Sandra yang sedang bingung tentang apa yang harus ditulisnya untuk mengerjakan tugas pelajaran mengarang tentang sosok ibu. Simak penggalan kalimat ini: Wanita itu barangkali mengira, karena masih tidur maka Sandra tak akan pernah mendengar suara lenguhnya yang panjang maupun yang pendek di atas ranjang. Wanita itu juga tak mengira bahwa Sandra masih terbangun ketika dirinya terkapar tanpa daya dan lelaki yang memeluknya sudah mendengkur keras sekali. Wanita itu tak mendengar lagi ketika dikolong ranjang Sandra berbisik tertahan-tahan “Mama, mama …” dan pipinya basah oleh air mata.
Kemudian seorang Agus Noor ‘melanjutkan’ dan menuangkan tulisannya dalam Pemetik Air Mata di kumpulan cerpen Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Tertulis dalam kalimat ini: Dulu, saat ia seusia Bita, Sandra selalu berpura-pura tertidur ketika ada laki-laki keluar-masuk rumahnya. Apakah Bita kini juga pura-pura tak mendengar suara mobil itu pergi?
Satu lagi, dalam kumpulan cerpen Malaikat Jatuh, Clara Ng menulis tentang cerpen Negeri Debu. Diceritakan Lucinda yang kesepian berteman dengan Polo dari Negeri Debu. Berikut sepotong kalimat yang menggambarkan kesedihan Lucinda: Ibu hanya menggeser Lucinda ke samping, membopongnya turun dari ranjang. Lucinda diletakkan di bawah ranjang. Sementara ibu memanjat ranjang milik mereka bersama seseorang lagi yang sosoknya selalu berbeda-beda tiap malam. Dari bawah ranjang, Lucinda dapat mendengar deretan dengusan dan gabungan tarikan napas ibu dan orang asing itu.
Membaca kumpulan cerpen ini kita seakan diajak berpetualang menelusuri beberapa budaya dan tradisi lokal Indonesia yang belum terjamah. Beberapa diantaranya mengangkat budaya di Nusa Tenggara Timur; cerpen Lama Fa, Bayi Baboa, dan Kofa. Cerpen Anak Nemang Kawi berlatar Papua. Cerpen Keris Kiai Setan Kober dan Kisah si Umar Pengkor mewakili budaya Jawa. Sayangnya, tidak menemukan cerpen bersetting Sumatera. PR ya buat penulisnya, hehe.. :p
Seperti Bandung Mawardi bilang dalam pengantar kumpulan cerpen ini: “Buku ini tidak sekedar suguhan kata di atas lembaran kertas. Buku Mata Air Air Mata Kumari menantang peziarahan imajinasi-lokalitas dan penelisikan diri manusia melalui pelbagai peristiwa. Kefasihan menuliskan kepekaan tempat (geografi) juga mengesankan kerja kepengarangan sadar dalam lintas batas imajinasi cultural-lokalitas. Keberimanan pengarang menjelma sapaan intim untuk pembaca memasuki jagat raya.
Oya, di kumpulan cerpen ini saya menemukan kesalahan dalam penulisan: ‘nemang’ ditulis ‘kemang’ (hal. 12), pengulangan kata ‘ini’ (hal. 58). Ini kali pertama saya membaca buku terbitan Katta. Ternyata, dibagian kolasi buku terdapat katalog buku. Hal ini memudahkan pembaca (maupun pustakawan). Tidak semua penerbit di Indonesia mencantumkan katalognya, salut buat Penerbit Katta =)

Tidak ada komentar: