Jumat, 07 Mei 2010

Resensi Sekigahara, oleh J. Haryadi

S E K I G A H A R A
Oleh : Dozi Swandana
ISBN : 978-979-1032-29-2
Ukuran : 13.5 X 20.5 Cm
Halaman : 224 halaman
Penerbit : Penerbit BukuKatta
Terbit : 2010
Harga : Rp.33.300

Penulis buku ini, Dozi Swandana, sangat mengenal sekali tokoh-tokoh sejarah Jepang. Hal ini bisa dilihat dari caranya mengisahkan cerita fiksi dalam buku ini yang mengesankan seolah-olah kita sedang membaca cerita sejarah Jepang yang sesungguhnya. Pria kelahiran Surabaya yang lahir tepat di hari pahlawan tesebut memang sangat menyukai kultur Jepang. Ia begitu pandai mengolah latar belakang sejarah Jepang menjadi kisah fiksi heroik yang menarik. Tentu saja ia pantas melakukannya, mengingat latar belakang pendidikannya sebagai lulusan terbaik Sastra Jepang Universitas 17 Agustus 1945 dengan nilai IPK tertinggi.

Novel bersampul merah, bergambar seorang panglima perang, lengkap dengan baju kebesarannya yang sedang menghunus pedang, dengan latar belakang suasana pertempuran sudah menggoda kita untuk membacanya. Buku yang terdiri dari 9 bab tersebut banyak mengupas riwayat berdirinya dinasti Shogun Tokugawa sampai terjadinya pertempuran besar Sekigahara. Membaca buku ini serasa kita masuk ke abad 15 dengan latar budaya Jepang, lengkap dengan berbagai intrik politik, tipu daya dan kekuasaan para klan yang berkuasa.

Pada tiga bab awal, pembaca akan disuguhi latar belakang sejarah awal terjadinya pertempuran Sekigahara, jauh sebelum pertempuran itu terjadi. Hal ini dimulai dengan kehadiran Oda Nobunaga, seorang bushi dan daimyo yang begitu kuat dan haus kekuasaan. Bahkan ia harus tega menghabiskan siapa saja yang menjadi penghalangnya, termasuk memenggal kepala adiknya sendiri, Nobuyuki, yang ditunjuk almarhum ayahnya sebagai penerus klan Oda Nobuhide. Berkat keberanian dan kecerdikannya, Nobunaga dibantu tangan kanannya, Toyotomi Hideyoshi , berhasil menguasai sebagian besar wilayah Jepang dengan kecerdikan dan kekuatan pedangnya.

Kekuasaan dan kejayaan tak ada yang abadi, begitu pula nasib yang menimpa Oda Nobunaga. Ia dikalahkan dalam sebuah pertempuran yang tidak seimbang, akibat jebakan maut yang sudah direncanakan anak buahnya sendiri, Akechi Mitsuhide, yang mengkhianatinya. Ia akhirnya menelan pil pahit dan terpaksa melakukan seppuku dihadapan Akechi Mitsuhide yang kerap kali dihinanya tersebut.

Sepeninggal Oda Nobunaga, kekuasaan berpindah ke tangan Toyotomi Hideyoshi. Tangan kanan Nobunaga ini berhasil menumpas pemberontakan Akechi Mitsuhide sekaligus membunuhnya melalui pedangnya sendiri. Banyak konflik yang harus diselesaikan Hideyoshi sejak kematianl tuannya tersebut, termasuk harus berperang dengan rekannya sendiri Shibata Katsuie yang tidak sependapat dengannya mengenai siapa yang pantas menggantikan Oda Nobunaga. Perseteruan yang berlangsung dengan peperangan tersebut dimenangkan oleh Hideyoshi, sedangkan Katsuie harus rela mengakhiri sendiri hidupnya dengan melakukan seppuku.

Kejayaan Toyotomi Hideyoshi juga tidak berlangsung lama. Sejak menyerang Jasoen pada tahun 1597, ia terserang penyakit yang berbahaya. Menyadari kalau hidupnya akan berakhir, ia menunjuk Tokugawa Ieyasu dan anaknya yang masih kecil, Toyotomi Hideyori sebagai pelaksana tugas sehari-hari. Pada tanggal 18 September 1598 Hideyoshi menghembuskan nafasnya yang terakhir di istana Fushimi.

Sejak kematian Hideyoshi, timbul perpecahan dikalangan anggota Go Tairo (Dewan Lima Menteri Senior). Mereka tidak sependapat mengenai siapa yang pantas berkuasa meneruskan pengganti Hideyoshi. Perseteruan keras terjadi antara Maeda Toshiie melawan Tokugawa Ieyasu yang menyebabkan salah seorang anggota Go Tairo tewas karena berusaha melerai pertikaian keduanya.

Secara diam-diam, Tokugawa Ieyasu berhasil menghasut Maeda Toshinaga yang tak lain adalah anak kandung Maeda Toshiie untuk membunuh ayahnya sendiri. Perbuatan ini bisa berhasil lantaran iming-iming hadiah yang dijanjikan Tokugawa terhadapnya. Kematian Maeda Toshiie yang misterius ternyata tidak membuat pertikaian tersebut berakhir, bahkan semakin menjadi bertambah runcing. Hal ini disebabkan adanya pengikut Hideyoshi lainnya yaitu Ishida Mitsunari yang juga sama-sama sebagai anggota Go Tairo. Mitsunari tidak sepaham dengan sepak terjang Tokugawa Ieyasu selama ini yang cenderung arogan dan otoriter. Perseteruan inilah yang kelak melahirkan pertempuran besar Sekigahara.

Pada tanggal 15 September 1600 Ishida Mitsunari secara resmi menantang Tokugawa Ieyasu yang dianggapnya diktator dan memerintah dengan tangan besi untuk bertempur dengannya di lembah Sekigahara, distrik Fuwa, Provinsi Mino, Jepang. Itulah sebabnya pertempuran yang sangat menentukan siapa penguasa yang paling berjaya dan pantas berkuasa selanjutnya disebut sebagai pertempuran Sekigahara atau dikenal juga dengan istilah Tenka Wakeme no Tatakai.

Siapa sajakah orang-orang yang berpihak ke masing-masing kubu dalam pertempuran sekigahara ? Siapa sesungguhnya Ishida Mitsunari yang begitu berani melawan Tokugawa Ieyasu yang terkenal kejam dan haus kekuasaan ? Siapa sajakah pihak-pihak yang ketika terjadi pertempuran justru berkhianat dan membelot ke kubu lawannya ? Bagaimana pula akhir dari pertempuran sekigahara yang dahsyat tersebut ? Siapakah yang keluar sebagai pemenangnya ? Bagaima pula nasib pihak-pihak yang kalah dalam pertempuran tersebut, apakah mereka diampuni atau justru dihukum mati ?

Anda mau tahu jawabannya ? Silahkan cari dan dapatkan buku terbitan penerbit bukukatta yang dahsyat tersebut di seluruh jaringan toko buku Gramedia, Gunung Agung dan toko buku klainnya di kota Anda.

Selamat membaca dan semoga terhibur !

***

http://resensi66.wordpress.com/2010/04/03/resensi-novel-sekigahara-perang-besar-penentu-pemimpin-jepang/